Musisi Indonesia Bersatu Suarakan Krisis Iklim Melalui Workshop IKLIM
Di tengah meningkatnya tantangan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, 15 musisi dari berbagai daerah dan genre di Indonesia berkumpul dalam sebuah lokakarya bernama IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab). Acara ini bertujuan untuk membahas krisis iklim secara mendalam serta mencari cara untuk menyuarakan isu tersebut melalui seni dan musik.
Para musisi yang hadir berasal dari latar belakang yang beragam, termasuk Kunto Aji, Reality Club, Teddy Adhitya, Sukatani, Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca, Iga Massardi, Endah Widiastuti dari Endah N Rhesa, Petra Sihombing, Tuantigabelas, Stephanus Adjie dari Down For Life, Farid Stevy dari FSTVLST, Nova Ruth, hingga Gede Robi dari Navicula. Mereka tidak hanya datang sebagai seniman, tetapi juga sebagai pegiat lingkungan yang ingin memberikan kontribusi nyata dalam menjaga keberlanjutan bumi.
Mengapa Isu Lingkungan Penting Disuarakan?
Menurut Kunto Aji, krisis lingkungan adalah masalah yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia menegaskan bahwa musisi harus memiliki dasar ilmu, alasan kuat, serta komunitas yang jelas saat menyuarakan isu ini. “Lima hari workshop ini sangat mahal bagi saya. Ini akan menjadi bekal untuk bersuara lewat karya-karya yang akan saya luncurkan,” ujar Kunto Aji seusai acara di Studio Antida Musik, Denpasar.
Baginya, isu iklim bukan hanya sekadar tanggung jawab pemerintah atau aktivis lingkungan, tetapi juga bagian dari tanggung jawab sosial para seniman. “Saya tinggal di Tangerang Selatan, dan setiap hari menghirup udara buruk. Saya punya dua anak kecil, dan saya ingin mereka tumbuh dengan udara yang layak. Sebagai musisi, saya bertanya: apa yang bisa saya lakukan?” tambahnya.
Diskusi Mendalam tentang Dampak Krisis Iklim
Selama lima hari lokakarya, para musisi membahas akar penyebab krisis iklim, peran seni dan budaya dalam mendorong aksi nyata, serta merumuskan langkah kolaboratif untuk menciptakan perubahan positif. Mereka juga mempelajari berbagai isu lingkungan yang mendesak, seperti ancaman terhadap ekosistem Raja Ampat, ekspansi pertambangan nikel di Morowali, deforestasi, serta ketergantungan Indonesia terhadap batu bara.
Gede Robi, salah satu co-founder gerakan IKLIM, menjelaskan bahwa ketidakseimbangan lingkungan telah menyebabkan berbagai konflik, mulai dari masalah pangan hingga kemiskinan, bahkan potensi perang akibat persaingan sumber daya. “Kita terlalu banyak ‘mengambil’ daripada ‘mengembalikan’. Workshop ini adalah ajang bagi kita semua untuk sadar akan kapasitas masing-masing dan mulai ‘mengembalikan’,” katanya.
Kolaborasi Seni untuk Perubahan Nyata
IKLIM bukanlah program yang baru. Gerakan ini telah berjalan sejak tahun 2023 dan sudah melibatkan 43 musisi dari seluruh Indonesia. Dalam lokakarya kali ini, beberapa musisi yang sebelumnya terlibat dalam album sonic/panic pada 2023–2024 turut menjadi fasilitator. Mereka membagikan pengalaman pribadi serta pembelajaran yang mereka dapatkan selama terlibat dalam gerakan ini.
Para peserta didampingi oleh pakar dari berbagai organisasi lingkungan hidup untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang isu energi, hutan, laut, hingga ruang hidup komunitas adat. Hasil diskusi ini membuka mata para musisi bahwa krisis iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan fisik, tetapi juga pada manusia, budaya, dan struktur sosial.
“Sebagai musisi yang hidup di ruang-ruang sosial dan budaya, kami pun ikut terdampak. Oleh karena itu, penting bagi kami untuk merespons isu ini, karena perubahan iklim juga memengaruhi kami secara langsung,” kata Cipoy dari Sukatani.
Langkah Nyata Setelah Lokakarya
Sebagai bentuk komitmen terhadap keberlanjutan, rangkaian lokakarya ditutup dengan penanaman pohon di Gianyar, Bali. Inisiatif ini merupakan upaya kolektif para musisi untuk mengimbangi emisi karbon yang dihasilkan selama kegiatan.
Faiz dari Reality Club menyatakan bahwa pengalaman selama lokakarya tidak hanya menginspirasi karyanya, tetapi juga memicu refleksi mendalam tentang gaya hidupnya. “Setelah mendapat banyak hard truth, saya merasa perlu mengubah hal-hal dalam hidup saya secara konsisten. Saya juga ingin membagikan kesadaran ini kepada orang-orang di sekitar saya,” ujarnya.
Setelah lokakarya berakhir, para musisi akan menerjemahkan pengalaman mereka ke dalam karya musik baru. Lagu-lagu ini akan dikumpulkan dalam sebuah album kompilasi yang direncanakan rilis pada akhir 2025 sebagai bagian dari kampanye global No Music On A Dead Planet (Tak Ada Musik di Planet yang Mati), yang diinisiasi oleh Music Declares Emergency. Kampanye ini didukung oleh musisi dunia seperti Billie Eilish, Massive Attack, dan Tame Impala.
Dengan sinergi antara seni, musik, dan aktivisme lingkungan, gerakan IKLIM menjadi platform penting yang mempertemukan para seniman untuk bersama-sama menjaga bumi bagi generasi mendatang.

Leave a Reply